Monday, September 29, 2014

Artikel mengenai Pengangkutan Udara untuk Orang

Pengangkutan yang ada di Indonesia terdiri dari pengangkutan darat, laut dan udara. Pengangkutan udara dalam Ordonansi pengangkutan Udara (OPU) dipergunakan suatu istilah pengangkut sebagai salah satu pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan. Dalam konvensi Warsawa 1929, menyebut pengangkut udara dengan istilah carrier, akan tetapi konvensi Warsawa tidak memberitahu suatu batasan atau definisi tertentu tentang istilah pengangkut udara atau carrier ini.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa definisi pengangkutan udara adalah orang atau badan hukum yang mengadakan perjanjian angkutan untuk mengangkut penumpang dengan pesawat terbang dan dengan menerima suatu imbalan.

Berbanding lurus dengan kualitas yang ditawarkan, tarif serta perlindungan hukum yang diberikan bagi pengguna jasa angkutan udara pun berbeda, sehingga menjadi suatu keharusan untuk adanya hukum yang melingkupi dan mengatur mengenai pengangkutan udara. Mengingat pengangkutan udara meranahi pengangkutan antar negara, sehingga munculah forum-forum internasinal yang membahas aturan mengenai hal tersebut. Dimulai dari konvensi Paris tahun 1919 hingga konvensi Warsawa 1929 lahir dari forum internasional tadi serta menjadi acuan bagi hukum pengangkutan di beberapa negara tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri pengaturan mengenai pengangkutan udara diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan menggantikan Undang-undang Nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan.

Sebelum lahirnya konvensi-konvensi tentang pengangkutan udara, tanggung jawab pengangkut pada mulanya menerapkan aturan secara analog dari bidang hukum lain, terutama dari bidang hukum perdata khususnya bidang hukum pengangkutan. Namun hal ini tidaklah membawa kepuasan bagi konsumen sehingga dibentuklah undang-undang tersendiri untuk mengaturnya.
Sekilas Mengenai Pengangkutan Udara.
Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara ( Pasal 1 angka 13 UU No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan)

Analisa Kasus
Pada hari Rabu tanggal 16 Januari 2002 dunia penerbangan Indonesia kembali mengalami musibah, kali ini maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airlines Boeing 737-300 dengan nomor penerbangan GA-421 jatuh melintang di anak Sungai Bengawan , Desa Serenan, Juwiring, Kabupaten Klaten. Dalam kecelakaan tersebut seorang wanita muda yaitu pramugari bernama Santi Anggraeni yang telah bekerja selama tujuh tahun tewas setelah terhempas keluar dari pesawat dan hanyut oleh arus sungai yang sedang meluap, sementara pilot Kapten Abdul Rezak bersama enam kru lainnya serta 51 penumpangnya tiga diantaranya balita selamat dan hanya mengalami luka memar dan patah tulang.
Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang
Dengan kemajuan teknik pada masa kini, kecelakaan-kecelakaan pesawat udara relatif jarang terjadi. Dari angka-angka statistik dapat ditarik kesimpulan bahwa alat pengangkutan yang paling aman adalah pesawat udara, kemudian kapal laut, lalu kereta api dan yang paling banyak menimbulkan kecelakaan adalah mobil. Suatu kenyataan bahwa dalam sejarah penerbangan sipil dalam negeri selama sepuluh tahun terakhir kecelakaan pesawat udara yang terjadi di negeri kita yaitu kecelakaan pesawat udara yang menimpa Garuda Boeing 737-300 di Sungai Bengawan Solo.
Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatsblad 1939-100 menentukan bahwa pengangkut udara bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena kecelakaan yang menimpa diri penumpang, sehingga penumpang tewas atau luka-luka. Pada umumnya kejadian, yang menimbulkan kerugian pada diri penumpang adalah suatu kecelakaan pesawat udara. Ada tiga pinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum, pengangkutan menurut Saefullah Wiradipraja (1989), yaitu :
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault liability). Menurut prinsip ini setiap pengangkutan harus bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi atas segala kerugian yang ditimbulkan akibat dari kesalahannya. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan bukan pada pihak pengangkut.
2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability). Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakan. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Yang dimaksud dengan “tidak bersalah” adalah tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau periristiwa yang menimbulkan kerugian tidak dapat dihindari.
3.   Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability). Menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti rugi terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut, pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.
Dengan menerapkan prinsip tanggung jawab pengangkut berdasarkan atas praduga, maka undang-undang pengangkutan di Indonesia mewajibkan pengangkut melalui perusahaan asuransi bertanggung jawab atas kerugian yang tirnbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Tetapi karena berdasarkan atas praduga, maka pengangkut melalui perusahaan asuransi dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia mendapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah (absence of fault). Jika dihubungkan dengan kasus kecelakaan pesawat udara Garuda Boeing 737 maka pihak pengangkut udara (PT. Garuda) melalui perusahaan asuransi harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang dltimbulkannya terhadap penumpang yang telah meninggal. Pihak asuransi dapat melepaskan diri dari tanggung jawab apabila la dapat membuktikan bahwa kecelakaan pesawat udara Garuda Boeing 737 di sungai Bengawan Solo bukan karena kesalahan pihak pengangkut (PT.Garuda).
Dalam Pasal 29 ayat 1 dan 2 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) ditentukan bahwa pengangkut tidak bertanggung lawab untuk kerugian, bila ia membuktikan ia dan semua orang yang dipekerjakan olehnya berhubung dengan pengangkutan itu telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan tersebut. Sedangkan pada Pasal 24 dan 25 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) menetapkan bahwa pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka atau meninggalnya penumpang dan sebagai akibat dari musnahnya, hilangnya atau rusaknya bagasi atau barang, tanpa dengan tegas menetapkan dasar dari tanggung jawab ini.
Pasal 43 ayat 1 butir (a) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah apabila kematian atau lukanya penumpang diakibatkan karena kecelakaan selama dalam pengangkutan udara dan terjadi di dalam pesawat udara atau kecelakaan pada saat naik ke atau turun dari pesawat udara. Menurut penulis, maka pada kasus kecelakaan pesawat udara yang menimpa pesawat Garuda Boeing 737 di sungai Bengawan Solo, pihak pengangkut (PT. Garuda) harus bertanggung jawab terhadap korban kecelakaan pesawat udara seperti apa yang disebutkan Pasal 43 ayat 1 butir (a) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tersebut di atas melalui perusahaan asuransi yang di tunjuk. PT Garuda dapat menjatuhkan klaim dengan cara menyerahkan data-data tentang kerugian yang dideritanya. Dan setelah menerima pengajuan dari tertanggung, pihak asuransi akan meneliti kerugian untuk menyelidiki kerugian yang selanjutnya dilaporkan kepada penanggung. Dan apabila tidak ada kebohongan dan tipu muslihat dalam kerugian itu, maka pihak asuransi dapat mengganti kerugian sesuai dengan apa yang telah diperjanjikannya.
Sumber :



Artikel mengenai Pengangkutan Udara untuk Orang

Kementerian Perhubungan menyatakan pembayaran kompensasi keterlambatan atau delay penerbangan oleh maskapai kepada penumpang hanya ada di Indonesia. "Di luar negeri, tidak ada praktek seperti itu," kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan, Bambang S. Ervan, saat dihubungi Tempo, Sabtu, 19 Oktober 2013.
Ia menjelaskan, di luar negeri, jika ada penerbangan yang terlambat, maka yang dilakukan maskapai adalah memberi fasilitas akomodasi atau penginapan dan mengganti jadwal penerbangan, bukan membayar tunai. Selain itu, Bambang melanjutkan, maskapai-maskapai di luar negeri memiliki aturan tersendiri. "Jadi memang tidak ada aturan dari pemerintahnya, kalau delay harus bagaimana," ucapnya.

Di Indonesia, ketentuan mengenai tanggung jawab maskapai dimuat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
Pasal 2 huruf e menyatakan maskapai wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap keterlambatan angkutan udara. Sementara itu Pasal 9 menjelaskan, keterlambatan angkutan udara mencakup keterlambatan penerbangan atau flight delayed, tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat atau denied boarding passenger, serta pembatalan penerbangan atau cancelation of flight.

Berikut ini ketentuan mengenai jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan yang dicantumkan pada Pasal 10 peraturan tersebut.

1. Maskapai memberi ganti rugi sebesar Rp 300 ribu per penumpang jika keterlambatan lebih dari empat jam.

2. Maskapai memberi ganti rugi 50 persen dari Rp 300 ribu, yaitu Rp 150 ribu, apabila menawarkan tujuan lain yang terdekat dengan tujuan akhir penumpang atau rerouting. Maskapai juga wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau transportasi lain sampai ke tempat tujuan jika tidak ada moda transportasi selain angkutan udara.

3. Jika maskapai mengalihkan penerbangan ke penerbangan selanjutnya atau penerbangan milik badan usaha niaga berjadwal lainnya, penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan atau upgrading class. Apabila terjadi penurunan kelas atau subkelas pelayanan, maskapai wajib memberi sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli penumpang.

Jika penumpang tidak terangkut, seperti dalam poin nomor 2 di atas, maka maskapai harus mengalihkan penumpang ke penerbangan lain tanpa biaya tambahan atau menyediakan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 11.

Peraturan mengenai Pengangkutan Udara untuk Orang

Peraturan dalam skala Nasional:

1. UU no. 1 Tahun 2009 menggantikan UU no. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
2. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkatan Udara
3. Peraturan Menteri Perbuhubungan Nomor: KM 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara
4. Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) S.100 tahun 1939 

Peraturan dalam skala Internasional:

1. Paris Convention : menyiapkan suatu peraturan guna mengatur lalu lintas udara internasional dimasa yang akan datang. Pekerjaan yang dilakukan panitia telah menghasilkan suatu perjanjian penerbangan, yang ditandatangani di Paris pada tanggal 13 oktober 1919 oleh 27 negara

2. Konvensi Chicago : menghasilkan beberapa hal penting, yaitu :

  • Konvensi mengenai Penerbangan Sipil Internasional yang dikenal dengan Konvensi Chicago Tahun 1944 (Convention Aviation Signed at Chicago on 7 Desember 1944)
  • Persetujuan Transit Udara Internasional (IASTA/ International Air Transit Agreement)
  • Persetujuan Transportasi Udara Internasional (IATA/ International Air Transport Agreement)


3. Perjanjian Warsawa Tahun 1929